• Image Alt

UPN Jogja Gelar FGD Pengembangan Model Pendidikan Politik

Yogyakarta – Pendidikan politik di Indonesia, terutama bagi para pemilih pemula melibatkan banyak pihak. Tidak hanya KPU sebagai penyelenggara namun guru dan relawan demokrasi (relasi) yang juga berperan didalamnya. Menariknya, tugas mereka tidaklah mudah di tengah berbagai perilaku politik yang negatif yang terjadi seperti money politics (politik uang).

Hal inilah yang menjadi bagian dari diskusi hangat dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Model Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula di Laboratorium PR, Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta (22-23/5). FGD yang menjadi tahapan dalam penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2015 tersebut terbagi dalam 3 sesi. Sesi pertama melibatkan para komisioner KPU Kabupaten/Kota se-DIY, sesi kedua bersama para relawan demokrasi dan sesi ketiga dengan guru BP dan PKn SMA.

Pada sesi pertama, penelitian yang beranggotakan Susilastuti DN, M.Si (ketua), Dr. Basuki Agus Suparno dan Dr. Adi Soeprapto tersebut juga mengundang Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso. Dalam diskusi ini mengemuka berbagai hal yang menjadi kendala dan tantangan dalam proses pendidikan politik. Menurut Susilastuti pendidikan politik tidak boleh berhenti kala pemilu usai karena ini adalah proses yang berkesinambungan. “Kami setuju dengan pendapat KPU Pusat bahwa pemilu bukanlah event yang sesaat namun sebuah proses terus menerus yang tidak boleh berhenti,” paparnya.

                Sedangkan Purwo mengemukakan, pendidikan politik bagi pemilih pemula, khususnya dan masyarakat pada umumnya  seharusnya ditujukan untuk membentuk seorang negawarawan, serta menyadarkan hak dan kewajiban warga negara dan negara. Pendidikan politik harusnya bisa mempertemukan dan saling memperkuat dua pihak ini. Persoalannya, selama ini pendidikan politik dimaknai terlalu sempit yaitu hanya sekedar meningkatkan partisipasi politik semata. Akibatnya, hiruk pikuk pendidikan politik hanya menjelang pelaksanaan pemilu. “Partisipasi politik juga penting, tapi harus dimaknai bagaimana kemampuan elit mendeteksi keinginan massa. Partisipasi politik tidak hanya selesai pada saat masyarakat menggunakan hak pilih dibilik suara, tapi juga bagaimana mengawal pemimpinnya. Masyarakat pada dasarnya punya banyak cara untuk melakukan partisipasi,” tegas  Purwo.

Dalam hal ini posisi relawan demokrasi yang dibentuk oleh KPU memiliki peran yang sentral. Orang-orang yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilu tersebut terbagi kedalam 5 segmen utama yakni wanita, kaum marginal, agama, disabilitas dan pemilih pemula. Mereka tidak hanya mensosialisasikan teknis pemilu namun juga mengubah mindset masyarakat agar tidak lagi apatis dan menjadi pemilih yang cerdas. “Alangkah baiknya jika relawan demokrasi terus beraktivitas walaupun pemilu sudah usai, harapannya hal itu bisa menjadi bagian dari usaha memperbaiki kualitas pemilu di masa mendatang,” papar Prayoga, salah satu relawan demokrasi KPU kota Yogyakarta.

Sementara itu, dalam diskusi dengan para guru BP dan PPKN se-DIY dapat diketahui bahwa pendidikan politik untuk pemilih pemula bisa dilakukan melalui mata pelajaran khususnya PKn serta organisasi siswa seperti OSIS.